Uang Kertas 2000 rupiah Dewasa ini, bila anda berkendaraan melalui
jalan tol, anda akan jarang menerima uang kembalian berupa lembaran Rp
1.000,-. Kasir pintu tol justru mengembalikan sisa tol dengan koin Rp
500,- aluminium. Memang sejak Maret 2007, Bank Indonesia berencana
menerbitkan uang kertas (UK) baru, pecahan Rp 2000,- dan Rp 20.000,-
lalu menarik uang kertas Rp 1000,- bergambar Pattimura untuk
digantikan dengan koin baru Rp 1.000,- yang bahan metalnya lebih murah
dari koin Rp 1.000,- seri Kelapa Sawit (1993 – 2000). Lalu apa arti
perubahan ini?
Ya, tentu saja, dengan terbitnya pecahan Rp 2000, berarti pemangkasan
harta atau aset kita dalam mata uang rupiah, menjadi separuh dari daya
belinya semula, yang disebut inflasi rupiah! Anda yang tadinya cukup
nyaman dengan penghasilan, katakanlah Rp 2 juta/bulan, kini dengan
adanya pemangkasan tadi, anda harus menambah penghasilan dua kali
lipatnya! Artinya selepas Idul Fitri 1430 H nanti, penghasilan anda
harus naik menjadi Rp 4 juta atau sekurangnya Rp 3 juta / bulan bila
ingin tetap nyaman seperti hari ini (Juli 2009).
Lalu bagaimana dengan rakyat kebanyakan yang penghasilannya kurang
dari Rp 1 juta sebulan ? Ya, semakin blangsak
Berdasarkan sejarah, ketika era Soeharto dulu, uang kertas tertinggi
sejak tahun 1968-1991 adalah Rp 10.000,-. Lalu dengan alasan defisit
APBN, diedarkanlah uang lembaran Rp 20.000,- seri
Cengkeh/Cenderawasih, tahun 1992. Karena nominal “aneh” ini sukses
beredar, maka tak lama kemudian muncul nominal lebih tinggi lagi yaitu
Rp 50.000,- bergambar Pak Harto (1993). Dan tidaklah mustahil, bila
uang kertas Rp 2.000,- baru ini sukses beredar, maka Bank Indonesia
akan menerbitkan uang kertas dengan nominal baru lainnya, misalnya: Rp
200.000,-; Rp 500.000,-, bahkan Rp 1 juta!
Sebab hal itu memang lazim dilakukan oleh Bank Sentral di negara
berkembang. Karena ciri khas mata uang negara maju, nominal angkanya
hanya tiga digit saja, seperti USA $100, Arab Saudi 200 riyal, Eropa
500 euro, Inggris 100 poundsterling; kecuali Jepang dan Korea Selatan
dengan 10.000 yen dan 10.000 won, sebagai sisa sebuah trauma ekonomi
pasca Perang Dunia II.
Dengan ditariknya pecahan Rp 1.000,- maka otomatis uang receh terkecil
adalah Rp 500,-. Sedangkan koin pecahan Rp 100,- dan Rp 200,- akan
lenyap dengan sendirinya, rusak atau dicuekin. Hal ini lazim terjadi
pasca terbitnya uang baru, ketika pecahan Rp 1,- dan Rp 2,- lenyap
pada tahun 1975, sepuluh tahun kemudian Rp 5,- dan Rp 10,- lenyap di
tahun 1985, lalu Rp 25,- dan Rp 50,- lenyap di tahun 1995. Kini pada
2009 ini pecahan Rp 100,- dan Rp 200,- sudah kehilangan daya belinya.
Rakyat dieksploitasi untuk memacu kegiatan ekonominya, dan dipaksa
merelakan hilangnya sebagian jerih payah mereka.
Perhatikan akibatnya. Bila tadinya sebutir telur ayam negeri seharga
Rp 10,-/butir di tahun 1975, lalu naik menjadi Rp 100,-/butir di tahun
1985, maka pemegang uang rupiah telah kehilangan asetnya 1 digit dari
Rp 10,- ke Rp 100,-. Artinya si pemegang uang kertas harus mencari
sepuluh kali lipat lebih banyak lagi lembaran rupiah agar bisa membeli
telur yang sama. Bisa jadi suatu hari nanti harga sebutir telur ayam
negeri harus dibayar dengan lembaran Rp 10.000,-/butir, tinggal
menunggu waktu saja.
Untuk mengakali inflasi ini, Bank Indonesia cukup menambah angka nol
pada uang kertas baru. Inilah riba Zero Sum Game! Sampai kapan
permainan riba ini akan berakhir? Rakyat yang kalah gesit dalam
mengimbangi permainan ini pasti semakin terpuruk kondisinya.
[wakalanusantara.com]
Sufyan al Jawi – Numismatik Indonesia